Oleh: NANI EFENDI
Selasa malam,
15 Januari 2013, sekitar jam 20.30 WIB, saya berbincang-bincang melalui jejaring sosial, Facebook, dengan Norzal Hadi, mantan Ketua Umum HMI
Cabang Kerinci periode 2005-2006. Ia mengungkapkan keprihatinannya melihat kondisi
HMI Cabang Kerinci saat ini,
setelah sebelumnya saya kirim tulisan saya
yang berjudul “HMI Almamater Keduaku” ke e-mail-nya. Setelah membaca tulisan saya itu beberapa saat,
ia langsung memberikan tanggapan.
Tulisan saya itu katanya sangat menyentuh dan ia menganjurkan untuk ditempel
di sekretariat HMI
Cabang Kerinci besok hari nya,
tentunya dengan harapan tulisan itu bisa dibaca oleh kader-kader
HMI, khususnya kader HMI
Cabang Kerinci. Norzal Hadi sangat khawatir terhadap keadaan HMI Cabang Kerinci saat ini. “Intelektualitas lemah, manajerial lemah. Kalau ditanya,
jawabannya, ‘Sudah, Bang! Siap, Bang! Beres,
Bang! Ya, Bang!’ Padahal, nol besar,” kata
Norzal dengan nada kesal, sedih, dan sekaligus juga marah dan geram.
Saya katakan kepadanya dalam chatting
itu, “Zal, saya tidak tahu lagi harus berbuat apa. Saya nasehati,
sepertinya mereka hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kanan. Bukan masuk telinga
kanan keluar telinga kiri. Kalau masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, itu masih
mendingan.
Berarti masih ada mereka mendengarkan dan singgah
di otak mereka. Ini
sepertinya mental begitu saja. Saya ajak diskusi, mereka tidak nyambung. Mau saya
ajari mereka menulis, mereka tidak tertarik. Ya, karena memang mereka tidak banyak membaca, makanya mereka juga tidak
tertarik untuk menulis. Karena penulis itu adalah pembaca. Maka, saya anjurkan mereka
banyak membaca. Tapi, tidak pernah saya lihat mereka membaca setiap kali saya
pergi ke sekretariat mereka. Saya kasih mereka tulisan, biar mereka bisa membaca,
tidak ada gairah mereka untuk membaca.
Lantas, saya harus melakukan apa untuk menghadapi kader-kader
yang seperti itu?”
Menanggapi komentar
saya itu, Norzal Hadi sepertinya juga bingung. Melalui layar Facebook di kotak chatting bagian sebelah kanan bawah, saya bisa menyaksikan
ia terus saja mengetik—meluapkan
perasaannya di dunia maya. Namun, saya bisa memahami bagaimana perasaan seorang
mantan KetuaUmum HMI itu yang telah berjuang bersusah payah bertahun-tahun untuk mempertahankan dan membesarkan HMI
Cabang Kerinci sehingga HMI Cabang Kerinci bisa survive sampai saat ini. Ia pastinya sangat sedih ketika melihat keadaan HMI saat ini tidak sesuai dengan harapannya.
Nah, apa yang
dikeluhkan oleh senior yang selalu dekat dengan kader-kader HMI itu bukanlah omongan
belaka. Pengalaman saya sendiri, setiap kali ke sekretariat Cabang,
selalu saya dapati banyak kader-kader sedang melakukan hal-hal yang tidak jelas juntrungannya.
Ada yang tidur-tiduran, ada yang curhat sama pacarnya, ada yang melamun, ada yang hanya sekedar ngobrol-ngobrol. Di sisi lain, saya
melihat—saya tidak tahu apa yang mereka lakukan kader-kader Kohati
asik mengurung diri di kamar mereka. Pendek kata, tidak saya lihat
aktivitas-aktivitas organisasi yang bernuansa
intelektual yang bisa
meningkatkan kualitas diri kader.
Tidak saya perhatikan kader-kader yang terlihat bangga nenteng
buku kesana kemari dan mengajak diskusi tentang
persoalan keumatan dan kebangsaan, serta aktivitas-aktivitas intelektual lainnya.
Tidak
terlihat kader-kader yang gemar membaca, apalagi menulis. Tulisan saya pun, setelah
saya suruh untuk ditempel di ruang sekretariat dengan harapan bisa dibaca oleh kader-kader,
beberapa waktu kemudian dicopot dan tidak saya lihat lagi sampai sekarang. Di samping
itu, juga tidak banyak kader-kader yang kelihatannya senang diskusi,
debat, maupun yang genit intelektual. Kebanyakan mereka, tentu yang saya maksudkan
bukanlah semuanya, hanya terlihat genit sama lawan jenis saja. Itu yang terlihat nyata.
Norzal Hadi,
mantan ketua umum yang ke-4 HMI Cabang Kerinci, setelah Bang Fadli itu, juga mengkhawatirkan,
jika tidak ada peningkatan kualitas kader saat ini, dalam waktu tiga tahun kedepan,
HMI Cabang Kerinci bisa mengalami kemunduran yang serius.
Secara kuantitas, banyak. Tapi, secara kualitas
sangat-sangat
mengecewakan. Tentu, selaku kader HMI, kita tidak menginginkan hal itu terjadi. Oleh karena itu, HMI Cabang Kerinci harus segera bangkit dan berbenah diri. Kader-kader HMI Cabang Kerinci
harus introspeksi dan melakukan otokritik secara internal HMI. Sebagai senior,
mantan pengurus, dan juga anggota KAHMI Kerinci, saya merasa memiliki moral responsibility (tanggung jawab
moral) untuk mengantisipasi agar apa yang dikhawatirkan mantan Ketua Umum HMI Cabang Kerinci itu tidak terjadi.
Tulisan saya ini
merupakan salah satu bentuk kepedulian saya terhadap HMI Cabang Kerinci,
organisasi yang telah banyak berjasa terhadap perkembangan diri saya dan yang telah membesarkan saya. Karena, eksistensi HMI Cabang Kerinci saat ini, dalam pandangan banyak alumni, “antara ada dan tiada”.
Suatu kondisi yang menggelisahkan bagi para senior
yang concern dengan eksistensi HMI. Jadi, tulisan ini semata-mata hanya untuk kebaikan dan kemajuan
HMI Cabang Kerinci kedepan. Saya ingin HMI Cabang Kerinci mengalami peningkatan
dari waktu kewaktu. Ada peningkatan dari segi
kuantitas, serta peningkatan juga dalam hal kualitas. Saya tidak ingin HMI Cabang Kerinci mundur apalagi tenggelam.
Sudah terlalu lelah kami membina dan membesarkannya. Oleh karenanya,
saya berharap kepada kader-kader HMI Cabang Kerinci untuk membaca tulisan ini serta
memahaminya secara baik, bijak, dan benar.
Pengurus Cabang Paling Bertanggung Jawab
Pengurus
Cabang adalah yang paling bertanggung jawab terhadap maju mundurnya HMI di
tingkat cabang. Kalian punya tanggung jawab ganda: internal dan eksternal.
Dalam lingkup internal, kalian bertanggung jawab membina kader dan me-manage organisasi HMI secara profesional.
Kalian harus lebih memahami aturan-aturan organisasi ketimbang kader-kader yang bukan pengurus. Kalian harus
lebih aktif ketimbang kader yang bukan pengurus. Oleh karena itu, saya
sarankan, agar masing-masing kalian wajib memiliki buku Hasil Kongres HMI. Buku
itu wajib kalian baca sampai tamat dan kalian pahami isinya. Satu buku itu saja
kalian baca sampai tamat, wawasan ke-HMI-an kalian sudah sangat-sangat luar
biasa. Kalian tidak lagi meraba-raba tentang apa itu HMI. Dalam buku itu, semua
sudah lengkap tertulis tentang hal-hal yang berhubungan dengan ke-HMI-an. Mulai
dari AD/ART sampai kepada Pedoman Perkaderan, semua ada di buku itu.
Nah, mungkin kalian bingung untuk mendapatkan buku Hasil Kongres. Jawabannya gampang
saja: kalian harus mem-foto copy! Berapalah
biaya foto copy jika dibandingkan
dengan ilmu yang kalian dapatkan dari buku itu. Di sana tercakup berbagai
disiplin ilmu—jauh lebih luas dibanding materi kuliah kalian selama satu
semester di kampus.
Tugas pengurus Cabang yang paling berat itu adalah
menyelamatkan Cabang dari kemunduran dan
kevakuman. Salah satu yang wajib dilakukan adalah melakukan pembinaan secara
kontinu tanpa kenal lelah kepada seluruh kader, baik kepada yang baru lulus LK
I maupun kepada kader-kader yang telah lulus LK II. Oleh karenanya, satu hal
yang perlu kalian perhatikan adalah LK I. LK I adalah pondasi awal bagi
pembangunan karakter kader. Jika LK I-nya sukses, maka kualitas kader pun akan
baik. Sebaliknya, jika kualitas LK I-nya rendah, maka kualitas kader pun akan
rendah. Walaupun ia telah lulus LK II jika LK I-nya amburadul, kader itu akan sulit
menjadi kader yang benar-benar handal. Oleh karena itu, benahi LK I dengan
baik. Kelolalah training itu dengan benar sesuai dengan aturan-aturan
organisasi dan kode etik serta Pedoman Perkaderan. Perkaya literatur-literatur
tentang perkaderan. Di samping itu, Pengurus juga harus aktif menghadiri
rapat-rapat internal organisasi HMI, seperti Rapat Harian, misalnya. Karena
melalui rapat itulah akan terbangun soliditas kader dan munculnya ide-ide
kemajuan. Orientasi Cabang pun akan terarah. Tidak ngambang seperti saat ini,
di mana Pengurus tidak tahu harus melakukan apa. Padahal, Pengurus itu
semestinya melaksanakan amanah Muscab atau Konfercab.
Kemudian, secara eksternal,
Pengurus, dan juga seluruh kader, punya tanggung jawab
yang maha penting yaitu melakukan fungsi social control (kontrol sosial) terhadap isu-isu atau persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan.
HMI harus menjadi moral
force (kekuatan moral) dan senantiasa melakukan pengamatan secara tajam
terhadap kehidupan masyarakat dalam gerak perubahan sosial. Saat ini, banyak
sekali persoalan-persoalan daerah yang tidak diperhatikan oleh HMI Cabang
Kerinci. Padahal, HMI tidak boleh apatis dengan persoalan-persoalan keumatan
dan kebangsaan, baik dalam skala daerah maupun dalam skala nasional—terutama
dalam persoalan sosial politik dan ekonomi. Oleh karena itu, HMI Cabang Kerinci
harus terus berjuang dalam rangka membangun kehidupan
umat, menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah
Subhanahuwata’ala. Oleh karenanya, independensi
harus tetap dijaga.
Kepada
kader-kader alumni LK II, jangan setelah kalian selesai LK II, kalian sudah merasa
jadi senior dan berhenti belajar serta
berorganisasi. Karena, biasanya, pasca LK II—suatu hal yang aneh di HMI
Cabang Kerinci—kader-kader HMI Cabang Kerinci langsung menghilang dan tidak mau
aktif lagi ber-HMI. Semestinya, pasca LK II, kader harus semakin intensif untuk
belajar dan aktif di organisasi HMI. Dengan aktif secara intensif di
organisasi, baru kalian dapat predikat sebagai aktivis. “Aktivis” itukan kata
dasarnya adalah “aktif”. Maksudnya, adalah orang yang aktif di organisasi. Alumni
LK II semestinya telah banyak berkenalan dengan berbagai pemikiran-pemikiran,
terutama pemikiran kiri yang progresif-revolusioner. Juga tentang sosialisme
dan keadilan sosial. Nurani kader alumni LK II semestinya lebih peka terhadap
persoalan-persoalan ketidakadilan sosial. Sikap Alumni LK II sudah harus selalu
cenderung pada kebenaran (hanif) dan selalu berpihak pada kaum yang lemah (mustad’afin). Tidak pada tempatnya
alumni LK II memiliki sikap apatis terhadap kehidupan sosial keumatan.
Pasca LK II, kader-kader HMI semestinya sudah banyak
membaca literatur, terutama buku-buku, majalah, dan koran. Alumni LK II tidak
boleh hanya terikat secara sempit dengan terkotak di dalam disiplin keilmuannya
di kampus saja. Berbagai buku harus dibaca. Termasuk buku-buku kiri. Alumni LK
II harus banyak mempelajari dan mendalami tentang Islam. Di samping itu, untuk
mempertajam analisis sosial, kader juga harus banyak membaca pemikiran-pemikiran
filosof dan sosiolog, seperti Karl Marx, Ali Syari’ati, Mansour Faqih, dan
lain-lain. Pelajari banyak aliran-aliran filsafat, baik itu filsafat Islam
maupun filsafat Barat. Buku-buku harus jadi teman kalian setiap waktu. Luangkanlah
waktu untuk selalu membaca. Selalulah berdiskusi untuk membangun wacana. Dengan
begitu, pikiran kalian akan terasah tajam. Pandangan kalian akan tajam melihat
realita sosial.
Hidupkan Budaya Menulis di Kalangan Kader
Di samping itu, yang sangat penting, selalulah belajar
menuangkan ide dan pemikiran dalam bentuk tulisan. Impikanlah tulisan kalian
bisa dimuat di media massa, baik cetak maupun online. Kader Kohati, misalnya, kalian semestinya sudah harus
banyak menulis dalam rangka merespon isu-isu gender dan keperempuanan kontemporer. Karena, kalau
kita baca tentang kejayaan HMI di masa lalu, media massa banyak dihiasi oleh
tulisan-tulisan dari kader-kader HMI. Itulah salah satu bentuk tradisi
intelektual di HMI. Salah satu kehebatan dari senior-senior HMI di masa lalu,
yang sempat mengangkat prestise HMI di antara organisasi-organisasi lainnya,
adalah kemampuan menulis yang mereka miliki. Pendahulu-pendahulu HMI—seperti Cak Nur, Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi
Azra, Mahfud MD, dan lain-lain—diakui kehebatan intelektualnya
karena mereka banyak menuangkan dan mempublikasikan ide, gagasan, pemikiran, dalam bentuk tulisan.
Dalam buku M. Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar (ed.), HMI Beban Sejarah Bagi Kadernya? (2002),
dijelaskan bahwa, dulu, media massa seperti Panjimas,
Prisma, Pelita, Kompas, dan sebagainya, banyak dipenuhi oleh
tulisan-tulisan dari kader HMI. Sewaktu Cak Nur masih belia, ia sudah berdebat
(berpolemik) dengan seorang profesor (Rasjidi) melalui tulisan, mengenai ide
”sekularisasi”. Cak Nur juga menolak dominasi pemikiran Masyumi yang sangat
politik-kepartaian-sentris, dengan melontarkan gagasan ”Islam yes, partai Islam
no”. ”Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI”—yang dijadikan landasan perjuangan HMI sampai saat ini—juga ditulis oleh Cak Nur
sewaktu ia masih belia. Sejak mahasiswa, Cak Nur sudah aktif menulis, di
antaranya melalui bingkai ”Pikiran-pikiran Muda Nurcholish Madjid, Dialog
Keterbukaan”. Demikian juga Dawam Rahardjo, beliau berpolemik terbuka dengan
Ketua Masyumi, Prawoto Mangkusasmito (pengganti Natsir), tentang pemikiran
Negara Islam. Ahmad Wahib menggoncangkan blantika pemikiran melalui ”Catatan
Harian (Pergolakan Pemikiran Islam)”.
Namun kini, budaya menulis dalam lingkungan HMI agak
sedikit menurun. Bahkan, di beberapa Cabang, terutama di daerah-daerah, boleh
dikatakan budaya dan kesenangan menulis tidak ada sama sekali. Termasuk HMI Cabang Kerinci. Saat ini, hanya sedikit kader yang senang kepada aktivitas akademis-intelektual. Padahal, terbinanya insan akademis adalah tujuan pertama
dari salah satu tujuan HMI. Dalam tujuan HMI dijelaskan, ”Terbinanya insan
akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah s.w.t.” Jadi, kata ”terbinya insan akademis” diletakkan lebih
awal di antara lima kualitas insan cita lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa HMI
sebenarnya sangat mengutamakan bidang intelektual.
Beberapa tahun yang lalu, di rumah Bang Fadli, Maliki Air, Rawang, saya pernah berdiskusi dengan Wo Ghazali, senior dan alumni
HMI Yogyakarta. Dalam diskusi itu beliau mengatakan bahwa
salah satu kelemahan yang banyak dimiliki oleh mahasiswa dan juga
sarjana-sarjana saat ini adalah ”tidak bisa menulis”. Padahal, kata beliau,
setiap mahasiswa diwajibkan membuat skripsi. ”Jadi, skripsi itu siapa yang
menulis?” tanya beliau. Beliau juga menjelaskan, usaha manusia menemukan dan
menggunakan bahasa tulisan dari sebelumnya bahasa lisan, berlangsung selama
ratusan tahun. Artinya, pada awalnya, manusia hanya bisa berkomunikasi secara
lisan. Baru setelah ratusan tahun, manusia menemukan tulisan dan bisa
berkomunikasi melalui tulisan (mampu menulis, menuangkan pemikiran dan
mengembangkan pengetahuan dan sejarahnya melalui tulisan). Dalam sejarah, kita
mengetahui ada yang dinamakan ”masa prasejarah; prehistory” (zaman manusia belum mengenal tulisan) dan ”sejarah; history” (sudah mengenal tulisan).
Jadi, kalau kita tidak bisa menulis, berarti kita masih
tertinggal ratusan tahun dari orang-orang yang bisa menulis. Demikian kira-kira
maksud Wo Ghazali. Atau, dapat juga
dikatakan bahwa orang yang tidak bisa menulis adalah orang yang ”masih hidup
dalam zaman prasejarah”. Tentu, kita tidak ingin tertinggal ratusan tahun dari
orang-orang yang bisa menulis. Dan tentu kita merasa tersinggung jika kita
dikatakan orang yang masih hidup dalam zaman prasejarah, bukan?
Oleh karena itu, HMI sebagai salah satu pelopor kemajuan
umat harus membudayakan kebiasaan menulis. Jadi, menulis itu harus dibudayakan.
Dengan membiasakan diri untuk selalu menuliskan apa pun yang Anda pikir, lihat,
rasa, dan dengar, kemampuan menulis Anda akan meningkat. Dan Anda juga akan merasakan manfaat yang sangat besar dari skill menulis
yang Anda miliki. Henriette Anne Klauser, penulis Writing on Both Sides of the Brain, pernah mengatakan, “Menulislah
hari ini, kemudian diam sejenak dan saksikan keajaiban yang terjadi.” Jadi, jangan takut jika tulisan kita tidak dibaca oleh
orang lain. Tuliskan saja, karena suatu saat pasti akan bermanfaat.
Menurut pengamatan saya, ada beberapa hal yang menjadi
penyebab tidak begitu berkembangnya budaya menulis di kalangan kader HMI saat
ini. Pertama, rendahnya tingkat
intelektualitas kader. Hal ini dikarenakan kesalahan rekrutmen (recruitment) pada saat penerimaan calon
kader sewaktu pelaksanaan LK I HMI (Basic
Training) yang ”asal rekrut”. Dengan kata lain, kualitas calon kader tidak
begitu diutamakan. Kedua, tidak
adanya pengetahuan tentang kiat-kiat menulis, menyusun tata bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Ketiga, adanya rasa
enggan untuk menuliskan berbagai hal, karena menganggap tulisannya juga tidak
akan dibaca oleh orang lain dan juga tidak dapat dipublikasikan. Keempat, dikarenakan sistem pendidikan
di negara kita. Sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi, tidak begitu
ditekankan pentingnya menulis.
Banyak makalah yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa di
kampus-kampus merupakan hasil dari menjiplak tulisan orang. Makalah hasil
jiplakan inilah yang—oleh Arip Musthopa Ketua Umum PB HMI periode 2008-2010—diistilahkan dengan ”makalah copy-paste”. Jadi, kader HMI sebagai bagian dari kaum intelektual
harus menghidupkan aktivitas intelektual, terutama menulis, di samping membaca, berdiskusi, dan melakukan fungsi sosial. Jadikanlah tulisan-tulisan kalian sebagai bahan diskusi dalam forum-forum ilmiah, baik itu
forum diskusi formal maupun tidak formal, seperti di sekretariat atau di
tempat-tempat diskusi lainnya di kampus-kampus. Kalian harus mampu menawarkan solusi
tentang berbagai persoalan kemahasiswaan, keislaman, dan kebangsaan melalui
tulisan.
HMI: Komunitas Intelektual
Tradisi berwacana juga tidak boleh hilang dari organisasi
yang bernama HMI. Tradisi berwacana adalah salah satu bentuk aktivitas kaum intelektual. Para Founding Father bangsa Indonesia seperti
Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan lain-lain, berhasil mendirikan Negara
ini karena berawal dari tradisi berwacana. Ingat, bahwa sesuatu itu berawal
dari ide. Oleh karena itu, pergulatan
ide atau pemikiran mesti terus dihidupkan di HMI Cabang Kerinci. Berwacana
adalah salah satu cara untuk menemukan ide-ide segar dan cerdas. Kader-kader
HMI itu harus banyak membaca. Minimal, 8 jam dalam seminggu. Kader-kader HMI
tidak boleh hanya tahu dengan disiplin ilmu yang ia pilih di kampusnya saja. Ia
juga harus banyak menambah dan menimba ilmu di luar kampus.
Karena, jika kader-kader HMI kurang membaca, wawasan
sosialnya menjadi sempit. Jika wawasan sosialnya sempit, sense of crises atau kepedulian sosialnya juga kurang. Oleh karena
itu, membaca berbagai macam bacaan seperti buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, artikel,
koran, makalah-makalah, serta berbagai macam karya ilmiah lainnya, harus terus
dilakukan oleh kader-kader HMI. Di samping itu, meng-up date informasi lewat media elektronik seperti dari televisi,
radio, dan lain-lain juga harus terus dilakukan secara kontinu. Fasilitas
internet yang mudah diakses di mana-mana saat ini, juga harus dimanfaatkan oleh
kader-kader. Untuk itu, kader harus menguasai IT (information technology). Segala hal yang berhubungan dengan IT ini
harus dikuasai oleh kader-kader HMI. Ke depan, tidak ada lagi kader-kader HMI
yang tidak bisa mengoperasikan computer. Semua kader HMI harus melek teknologi.
Kader-kader HMI harus menguasai hal-hal yang berhubungan dengan dunia maya.
Jaringan internet merupakan sumber informasi yang sangat besar dewasa ini.
Di samping itu, kader HMI juga harus berusaha untuk menguasai
bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Kedepan, banyak sekali penggunaan bahasa
Inggris dalam berbagai bidang kehidupan. Kata Bung Hatta, “Jika kita tidak
menguasai bahasa asing, maka kita tidak mampu memiliki derajat tertentu.” Untuk
bisa go-nasional dan go-internasional, penguasaan bahasa
Inggris mutlak harus dikuasai oleh kader-kader HMI. Tanpa skill bahasa Inggris
yang memadai, sulit bagi kader-kader HMI memasuki sektor-sektor penting dan
strategis di republik ini. Oleh karena
itu, kuasai bahasa Inggris! Tidak ada kata terlambat. Kita bisa jika kita mau.
HMI Cabang Kerinci
dan Tantangan Bangsa Kedepan
Idealnya, kader HMI sejati itu harus menguasai dan
memahami dua persoalan besar di samping menekuni disiplin ilmu yang menjadi
pilihannya di kampus. Dua persoalan besar itu ialah persoalan bangsa (wawasan
kebangsaan atau keindonesiaan) dan persoalan keagamaan dan keumatan (wawasan
keislaman). Dua wawasan ini—kebangsaan dan keislaman—harus benar-benar dimiliki
oleh setiap kader HMI Cabang Kerinci. Karena, hal ini sesuai dengan tujuan
didirikannya HMI itu sendiri. Jika dua hal itu tidak dimiliki, berarti seorang
kader HMI itu tidak memahami tujuan HMI dan tujuan ber-HMI. Di samping itu, ada
dua wawasan lain yang akan menopang kompetensi seorang kader, yaitu wawasan
kemahasiswaan dan keorganisasian.
Wawasan kebangsaan dan keindonesiaan yang dimiliki oleh
kader-kader HMI akan membuat kader memiliki kesadaran kristis (critical consciousness), terutama
kesadaran politik dan kepekaan sosial yang tinggi. Dan, itulah salah satu
tujuan Latihan Kader. Kesadaran ini sangat perlu dalam memperjuangkan cita-cita
HMI mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang diridhoi oleh Allah
s.w.t. Sedangkan wawasan keislaman akan
menjadikan kader-kader HMI sebagai insan-insan moralis dan idealis yaang selalu
tunduk dan istiqomah dalam memperjuangkan kebenaran yang berlandaskan al-Qur’an
dan Hadits. Ketundukan kepada kebenaran itu adalah konsekwensi logis dari sikap
ber-islam, yakni tunduk, patuh, dan pasrah kepada Allah (hanif). Wawasan
keislaman ini juga menuntut kader-kader HMI untuk selalu mengimplementasikan
nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi, setiap mahasiswa yang bergabung dengan HMI harus memiliki
kesadaran kristis (critical consciousness).
Karena, persoalan umat tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, maka kader
HMI juga harus melek politik, walaupun tidak harus selalu menjadi politisi atau
terjun ke kancah politik praktis. Oleh karena itu, komitmen untuk selalu
belajar harus menjadi bagian dari jati diri seorang kader HMI Cabang Kerinci.
Belajar tentunya tidak sebatas di institusi formal, tetapi bisa belajar di mana
dan kapan saja. Di atas itu semua, nilai-nilai (values) dan landasan keislaman tidak boleh lepas dari diri setiap
kader-kader HMI. Islam harus tetap menjadi ruh dan sumber nilai, serta kekuatan
dan landasan moral bagi setiap kader HMI dalam perjuangannya. Profesionalitas
dan intelektualititas yang tinggi dengan dilandasi iman yang mantap
(keislaman), itulah sosok kader HMI yang ideal yang diharapkan mampu membawa
Indonesia menjadi bangsa yang adil makmur. Dalam skala lokal, kader-kader HMI
Cabang Kerinci diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap
pembangunan daerah Kerinci.
Benahi Perkaderan
Saran berikutnya adalah kepada BPL HMI
Cabang Kerinci. Kalianlah yang harus memulai untuk mencintai dunia perkaderan.
Kader HMI yang tidak mencintai dunia perkaderan, dalam pandangan saya, bukanlah kader
HMI sejati. Ingat, perkaderan merupakan urat nadinya HMI yang
berfungsi menjaga kesinambungan eksistensi HMI dari waktu kewaktu. Tanpa perkaderan,
HMI itu akan tenggelam dan terkubur ditelan zaman. Nanang Tahqiq dalam M. Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar (ed.), HMI Beban Sejarah Bagi Kadernya? (2002),
mengatakan, ada tiga kekuatan kunci saling bertaut yang membuat HMI sampai hari
ini begitu memukau, yaitu: independensi, tradisi intelektual, dan perkaderan. Oleh
karena itu, kalian tidak boleh mengabaikan perkaderan. Jika ketua umum tidak
ada, HMI tetap akan eksis kalau perkaderannya tetap jalan. Sebaliknya, HMI akan
tenggelam kalau perkaderannya mandek, walaupun ketua umumnya ada. Itu yang
perlu kalian ingat.
Mudah-mudahan dengan membaca tulisan saya ini,
kader-kader akan tergugah dan termotivasi untuk terus berjuang membangun dan
membesarkan HMI Cabang Kerinci kedepan. Berjuang dan berproseslah kalian di HMI
dengan benar. Jadikanlah HMI sebagai wadah perjuangan untuk membangun kehidupan
manusia yang lebih baik. Karena, kata Rasulullah, “Khairunnas anfa uhum linnas.” (Manusia yang baik itu ialah yang
paling banyak manfaatnya bagi manusia lain). Oleh karena itu, jangan kalian jadikan
HMI hanya sebagai tempat tidur-tidur dan kongkow-kongkow yang tidak jelas
juntrungannya, tetapi jadikanlah HMI sebagai tempat belajar dan mengasah
kemampuan, serta menjadi wahana perjuangan untuk kepentingan umat secara luas. Hanya
dengan terus bergerak dan berjuang—dengan tetap berada dalam koridor Konstitusi HMI dan
Pedoman organisasi lainnya serta dengan penuh loyalitas, dedikasi, dan rasa
tanggung jawab dari Pengurus dan segenap kader—HMI Cabang Kerinci akan tetap survive dan tidak akan pernah mengalami
kevakuman dan kemunduran. Yakin usaha sampai!
NANI EFENDI
Alumnus LK III (Advance Training) HMI dan Mantan Sekretaris Umum HMI
Cabang Kerinci Periode 2006-2007
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !