Oleh: NANI EFENDI
Untuk mewujudkan bangsa yang adil dan sejahtera, diperlukan etika dan moral yang baik dalam mengelolanya. Dalam konteks itu, ada “kesamaan” dengan ajaran Islam. Bukankah Islam juga menekankan pentingnya etika dan moral dalam kehidupan? Ajaran tentang moral dan etika ini sama dengan esensi ajaran yang ditekankan oleh para mistikus atau sufi dalam Islam. Nabi s.a.w. pun diutus ke dunia membawa misi utama ”menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Beberapa waktu kemudian, timbul keinginan saya untuk membaca ulang buku Passing Over; Melintasi Batas Agama, yang diedit oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN, Jakarta, saat ini, dan Ahmad Gaus AF. Buku setebal 464 halaman itu, memuat
tulisan pakar-pakar di bidang filsafat dan agama, di antaranya Nurcholish
Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alwi Shihab, Quraish Shihab, Kautsar
Azhari Noer, dan lain-lain. Dalam buku yang diterbitkan oleh PT. Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, tahun 1998 itu juga
memuat tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh agama Kristen dan Kong Hu Cu, di
antaranya ”’Passing Over’ Seorang Kristen ke Dalam Tradisi Mistik Islam” oleh
seorang pendeta agama Kristen, Darius Dubut.
Di samping itu,
ada juga tulisan dari Pendeta Eka Darmaputra, alumnus Andover Newton
Theological School and Boston College, Amerika Serikat, yang berjudul
”Perbandingan Agama: Membandingkan atau Mempertandingkan?” Di bab terakhir ada
tulisan dari tokoh agama Kong Hu Cu, Chandra Setiawan dan Liang Wen Fung,
masing-masing tulisannya berjudul ”Agama Kong Hu Cu di Indonesia” dan ”Nabi
Orang yang Diagungkan?” Dari buku yang diedit oleh doktor bidang Filsafat Barat
di Middle East University, Ankara, Turkey, itulah saya memahami esensi yang selama ini orang sebut dengan ”islam”, ”nabi”, ”Tuhan”, dan ”Allah”.
Islam Ajaran Semua Nabi
Di bagian
”Pengantar” dan Bab I, Nurcholish Madjid––alumnus University of Chicago,
Amerika Serikat––menjelaskan secara mendalam tentang esensi ajaran semua nabi.
Nurcholish Madjid menjelaskan dalam buku Passing
Over itu, bahwa setiap umat telah ada seorang pemberi peringatan, merujuk
kepada al-Qur’an surat Fathir/35: 24.
Nurcholish
menjelaskan, ”Umat, by definition, adalah
sekumpulan manusia. Karena itu kalau di Jawa ada sekumpulan manusia, maka di
situ ada nabi. Tetapi jangan harap namanya nabi, sebab nabi itu bahasa Arab dan
bahasa Ibrani yang artinya orang yang mendapat berita. Yaitu, berita dari alam
gaib...” (Passing Over, 1998: xxxii).
Di samping itu, Cak Nur juga menerangkan bahwa ada kemungkinan––dan tidak bisa
dipastikan—bahwa orang-orang seperti Kong Hu Cu (Confusius) dan Lao
Tse itu adalah nabi (Passing Over,
1998: xxx). Bahkan, kata Cak Nur, Buya Hamka menganggap Lao Tse itu nabi.
”Nabi”—dijelaskan
oleh Cak Nur—adalah berasal dari kata naba’, yakni dari bahasa Arab, yang artinya ”berita” (berita dari
alam gaib/wahyu). Orang yang menerima ”berita” itu disebut dalam bahasa Arab
dengan ”nabiy”. Diindonesiakan
menjadi kata ”nabi”. Jadi, orang yang menerima berita dari alam gaib itu banyak
sekali. Di setiap kaum (kumpulan manusia) ada penerima berita (Arab: nabiy). Tetapi, sekali lagi, tidak
disebut nabi, karena ”nabi” adalah peristilahan dalam bahasa Arab.
Di samping
menjelaskan pengertian ”nabi”, Cak Nur juga menjelaskan pengertian Islam.
Kata ”islam” juga berasal dari bahasa Arab, artinya ”tunduk, patuh, taat,
dan pasrah atau berserah diri kepada Tuhan”. Cak Nur menjelaskan:
...Islam dalam arti
generik berarti pasrah kepada Tuhan; karena itu menurut al-Qur’an semua agama
adalah Islam. Tetapi jangan berharap bahwa perkataan Islam ada dalam
perbendaharaan nomenklatur agama-agama selain yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w.
Itu tidak ada, tetapi maksudnya adalah ajaran pasrah kepada Tuhan (Passing Over, 1998: xxxv).
Di halaman
berikutnya, ia menambahkan, ”Jadi, tugas nabi dan rasul ialah mengajak manusia hidup
tunduk-patuh, taat dan pasrah kepada Tuhan. Karena itu al islam atau ajaran pasrah kepada Allah secara sukarela dan damai
adalah ajaran dan agama semua nabi yang diterima dari Tuhan.” (Passing Over, 1998: 15).
Melalui tulisan
ini, saya ingin mengatakan kepada kita semua umat beragama khususnya Islam,
supaya memahami agama tidak sebatas zahir, simbol, atau istilah. Tetapi, lebih
dari itu, kita harus mampu memahami dan menyelami hakekat atau esensi di balik
simbol-simbol keagamaan. Menyelami dan memahami agama lain, menurut saya
tidaklah berarti akan merusak akidah atau menggoyahkan iman kita. Malah, bagi
saya, bisa memperkaya pengalaman keagamaan dan mempertinggi spiritualitas kita.
Dengan demikian, akan menambah pemahaman dan pengetahuan, sekaligus juga
pengamalan religius (religious experience)
kita sendiri. Sehingga, kita bisa beragama secara baik dan benar.
Manakah jalan
yang benar? Tentu masing-masing pemeluk agama akan mengklaim agamanyalah yang
benar. Oleh karena itu, kita tidak perlu memperdebatkan tata cara ritual dan
metode, mana yang paling benar. Yang lebih penting ialah memahami esensi ajaran
setiap agama yang telah diberikan oleh Tuhan melalui para ”penerima berita”
(Arab: nabiy), yakni dengan berlomba-lomba
berbuat kebajikan, sebagai bentuk sikap ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan
kepada Tuhan semesta alam. Sikap inilah yang disebut sikap ”ber-islam”.
Jika seseorang
sudah bersikap tunduk-patuh dan pasrah kepada Tuhan dengan senantiasa berbuat
baik sesuai dengan fitrahnya yang bersumber dari hati nurani (hanif), maka ia
telah ”ber-islam” dalam pengertian sikap.
Meskipun, ia tidak memasuki agama Islam secara formal (ber-KTP Islam).
Sebaliknya, walaupun seseorang memeluk agama Islam secara formal, tetapi tidak
bersikap islam, maka menurut saya, ia
tidak bisa disebut Islam. Karena, islam adalah
sikap batin, bukan insitusi secara formal.
Orang seperti
inilah yang disebut munafik, yakni mengaku ber-Islam secara institusi, tetapi
sikapnya tidak mencerminkan sikap ber-islam.
Mereka tidak berbuat kebajikan, tidak berbuat baik, apa yang mereka lakukan
tidak berlandaskan moral dan etika, pantaskah mereka disebut islam? Secara formal, iya. Karena,
mereka ber-KTP Islam. Tetapi, secara esensial atau hakekat (sikap batin),
mereka tidaklah bisa disebut ber-islam.
Orang-orang seperti ini beragama hanya sebatas simbol dan formalistik. Mereka
tidak memahami makna-makna di balik formalitas dan simbol-simbol agama itu.
Oleh karena itu,
untuk memahami makna yang hakiki dari agama-agama, kita harus memahami makna di
balik simbol-simbol. Simbol-simbol, maksud saya di sini termasuk juga istilah-istilah,
ungkapan-ungkapan (artikulasi) dan metode atau tata cara ritual dari
agama-agama. Untuk memahami esensi ajaran setiap agama, kita harus bersikap positif
dan melihatnya dari ”kacamata” agama lain. Tetapi, sekali lagi, saya tidaklah
menganjurkan supaya Anda berpindah-pindah agama. Saya tetap meyakini bahwa
agama Islam yang saya anut inilah agama yang paling benar dan
paling. Maksud saya ialah dengan memahami esensi ajaran-ajaran setiap agama akan
memperkaya wawasan dan pengalaman spiritual dan religius kita.
Untuk bisa
memahami makna di balik simbol-simbol dan metode-metode ritual setiap agama,
kita harus berani melintasi (to cross
over) batas-batas antar agama (inter
faith) itu dengan tidak bersikap negatif terlebih dahulu. Artinya,
mempelajari dan memahami agama lain dari dalam agama itu. Sikap seperti ini
menurut Kautsar Azhari Noer akan membawa pandangan baru dan memperkaya agama
semula. ”Pemikiran-pemikiran Lao Tse dan Chuang Tzu bukanlah bahaya yang
mengancam Islam tetapi adalah khazanah yang memperkaya sistem ontologis Islam,”
jelas Kautsar (Passing Over, 1998:
284).
Agar bisa
memahami makna esensial di balik simbol-simbol agama, meminjam istilah
Nurcholish Madjid, ”kita harus menyeberanginya (to cross over atau to pass
over),” tetapi kita terlebih dahulu harus mentransendenkan diri kita dari
pengaruh-pengaruh yang sifatnya duniawi seperti budaya, sosial, politik, dan
sejarah. Istilah Cak Nur,
”How to transcendent our self above the
dictation of political, social, cultural, and history.”
Tuhan
Ada satu hal lagi
yang ingin saya paparkan dalam tulisan saya ini. Dalam tulisan Cak Nur itu
dijelaskan juga tentang apa yang selama ini orang—Indonesia—sebut
dengan kata ”tuhan”. Dari penjelasan Cak Nur dalam buku Passing Over itulah saya memahami apa yang selama ini kita kenal
dan sebut dengan kata ”tuhan”. Memang, hanya ada satu Tuhan di alam semesta
ini. Itulah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Arab, Tuhan Yang Maha Esa itu
disebut ”Allah”, berasal dari kata al ilah yang berarti Tuhan yang
sebenarnya. Lagi-lagi Cak Nur mengatakan bahwa ”Allah” adalah juga istilah
dalam bahasa Arab. Maka tidak salah jika dalam tasawuf (tarekat), Allah itu dikatakan
hanyalah sebagai ”nama” Tuhan, dan bukan Tuhan itu sendiri. Ia hanyalah nama Zat
Yang Maha Mutlak.
Menurut saya,
”Allah” itu lebih tepatnya bukanlah ”nama Tuhan”, karena pada hakekatnya Tuhan
tidak punya nama, tetapi lebih tepatnya adalah ”ungkapan” untuk menyebut Realitas
Yang Maha Mutlak (the Absolute Reality).
Realitas Yang Maha Mutlak, dalam bahasa Indonesia disebut ”Tuhan”, berasal dari
bahasa melayu. Jadi, sekali lagi, kata ”Tuhan” berasal dari bahasa melayu. Dalam
bahasa Inggris, disebut ”God”. Dan tidak semua nabi menyebut Tuhan
Yang Maha Esa dengan kata ”Allah”. ”Nabi Musa, misalnya, menyebut Tuhan
dengan ’Jehova’,” terang Cak Nur.
Orang-orang Iran
menyebut Tuhan dengan ”Khoda” (bahasa Persi). Di Iran, istilah ”Khoda” sering berganti-ganti dengan istilah ”Allah”.
Oleh karena itu, dalam UUD Republik Islam Iran, versi resminya dalam bahasa
Inggris, istilah ”Allah” dan ”Khoda” diganti dengan kata ”God”. Kemungkinan
besar hal ini bertujuan untuk menyeragamkan kedua istilah tersebut. Tetapi,
maksudnya tetap sama, dan tidak merobah makna yang sebenarnya. Karena, yang
dimaksud tetap Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Esa.
Dulu, ”Tuhan”
juga sering disebut dengan ”Dewata Mulia Raya”. Untuk lebih memahami persoalan
ini silakan baca buku Nurcholish Madjid (1998), Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer.
Di samping itu, Cak Nur menjelaskan istilah-istilah ”Tuhan” dalam berbagai bahasa. Dalam
bahasa-bahasa Semitik, Tuhan disebut ”ilah”,
”el”, ”il”, ”illiyun”. Dalam
bahasa-bahasa Indo-Jerman disebut ”khoda”,
”god”, ”gott”. Dan dalam bahasa-bahasa Indo-Latin, Tuhan disebut dengan ”deva”, ”deo”, “dieu”, “theo” (lihat Nurcholish Madjid, Passing Over, 1998: 11).
Nabi-nabi
semenjak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad mempunyai ungkapan dan istilah yang
berbeda-beda untuk menyebut Realitas Mutlak (the Absolute Reality, Tuhan Yang Maha Esa). Tidak hanya itu,
tatacara ritual atau ibadah serta syariat pun di antara nabi-nabi juga berbeda-beda
satu sama lain. Walaupun demikian, esensi ajaran mereka tetap satu, yakni
mengajarkan manusia untuk tunduk-patuh, dan berserah diri kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa (ber-islam). Sikap
mengakui dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa ini disebut juga sikap Tauhid
atau meng-Esa-kan Tuhan. Atau, dalam bahasa Arab disebut islam. Karena itulah, ajaran semua nabi disebut islam, karena esensi ajaran mereka semua
sama.
Lantas, kenapa
syariat (tatacara ibadah, dan metode mendekatkan diri kepada Tuhan) bisa
berbeda-beda? Jawabannya, karena setting sosial
yang berbeda-beda sesuai dengan waktu dan tempat mereka di utus. Manakah di
antara ajaran nabi-nabi yang benar? Semua benar. Karena, nilai-nilai dalam
ajaran mereka adalah nilai-nilai tauhid nilai Islam. Esensi nilai-nilai
tauhid itu tidak akan pernah berubah sepanjang zaman, hanya aplikasinya yang
berubah-ubah sesuai dengan konteks zaman di mana nilai-nilai (values) itu diimplementasikan.
Jadi, kata
”islam”, ”nabi”, ”Allah”, semua itu merupakan istilah yang berasal dari bahasa
Arab. Kita harus memahami arti dan makna dari istilah-istilah itu. Termasuk
juga arti dan makna di balik simbol-simbol dalam setiap agama. Tujuannya ialah
untuk memperkaya pemahaman dan pengalaman religius dan spiritual kita. Dengan memahami
arti dan makna di balik istilah dan simbol-simbol agama, kita bisa beragama
secara baik dan benar. Janganlah memahami dan beragama hanya sebatas simbol dan
istilah. Tetapi, kita harus menyeberangi (to
cross over) simbol-simbol atau hal-hal yang bersifat formalistik dari
setiap agama, apalagi makna dan simbol-simbol yang ada dalam agama kita
sendiri.
Dengan demikian, makna
esensial dan substansialnya dapat kita pahami dengan baik dan benar. Dengan
adanya pemahaman tersebut, maka kita pun dapat bersikap baik dan beragama
secara baik. Konsekuensi dari beragama secara baik dan benar, tentunya adalah berakhlak
mulia, bermoral dan beretika yang baik serta bersikap arif dan bijak. Selanjutnya,
dengan sikap arif dan bijak, maka kehidupan dunia pun akan menjadi baik, indah
dan damai (good, beautiful and peace).
NANI EFENDI
Alumnus
LK III (Advance Training) HMI dan Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang
Kerinci Periode 2006-2007
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !