Sejarah Perumusan NDP (Nilai Dasar Perjuangan) HMI
NDP kali pertama dikenal pada tahun 1969 pada saat Pengurus Besar HMI yang bertempat di Jakarta dipimpin oleh Nurcholis Madjid yang sering dikenal dengan Cak Nur, tepatnya padi Kongres ke-9 di Malang, pada saat itu Cak Nur memberikan presentasi mengenai Nilai Dasar Islam, selanjutnya kertas kerja yang telah disampaikan oleh Cak Nur dalam kongres tersebut dimintu oleh peserta kongres dan selanjutnya kongres mengamanahkan untuk disempurnakan dengan menugaskan Sakib Mahmud, Endang Ashari serta konseptornya Cak Nur.
Pada Kongres ke-10 di Palembang tahun1971 konsep dasar Islam ini dikukuhkan dengan nama "Nilai-Nilai Dasar Perjuangan" yang disingkat dengan NDP tanpa perubahan isi sama sekali, adapun alasan dipilihnya nama ini adalah: karena Nilai Dasar Islam (NDI) dianggap justru menyempitkan makna Islam itu sendiri, apalagi mengklaim dengan nama Islam. Selain itu kata perjuangan memiliki makna usaha yang sungguh-sungguh untuk merubah suatu keadaan, kata perjuangan itupun terinspirasi dari sebuah kata judul sebuah buku “Perjuangan Kita” karya Syahrir. Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya NDP adalah sebagai berikut :
Ø Belum adanya literature yang Memadai bagi kader HMI untuk rujukan filsafat sosial dalam usaha melakukan aksi dan kerja kemanusiaan.
Ø Kondisi umat Islam khususnya di Indonesia yang masih mengalami kejumudan dan kurang dalam penghayatan serta pengamalan nilai- nilai ajaran Islam.
Ø Kaca perbandingan, karena kader PKI mempunyai buku panduan yang dijadikan pedoman untuk menjalankan idiologi marxisnya, maka dari mahasiswa Islam juga harus memiliki buku panduan sebagai dasar perjuangan.
Dalam perjalanan sejarah NDP, ketika negeri ini menganut asas tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah yang saat itu rezim Soeharto, dengan Orde Barunya dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila, NDP pun berubah nama lagi menjadi Nilai Identitas Kader (NIK) namun isinya tetap tidak berubah, selanjutnya perubahan nama ini kemudian disahkan pada kongres ke-16 di Padang, sebab dari diubahya nama NDP menjadi NIK karena:
- Penguasa menganggap kata perjuangan dapat mengganggu stabilitas nasional.
- Untuk membedakan kader HMI dengan yang bukan kader.
Setelah orde baru tumbang dan alam demokrasi yang kian berkibar, maka pada Kongres ke-22 di Jambi tahun 2000, NIK kembali menjadi nama NDP.
Kedudukan NDP : Sebagai Landasan Perjuangan
Tujuan NDP : Sebagai Filsafat Sosial.
Hubungan antara NDP dengan HMI:
1. Islam : Landasan Teologis.
2. NDP - HMI : Landasan ldeologis.
3. NDP-Mission HMI : Landasan Filosofis.
4. NDP - GPPO & PKN HMI : Landasan Sosiologis.
Sebagai catatan ada pula yang menyatakan bahwa konsep nilai dasar perjuangan ini adalah hasil kajian Cak Nur dari pejalanannya keluar negeri (yang dimulai dari Suriah , Kuwait , Saudi, Turki, Libanon, Mesir, Amerika. Yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa negara di Asia ). Dari perjalannya ini beliau membandingkan umat Islam di setiap negara bagaimana mereka menganut Islam memahami, menghayati serta pengamalan ajaran-ajaran Islam, selanjutnya beliau membandingkan dengan kondisi umat Islam di Indonesia, hingga sampai akhirnya beliau termotivasi untuk memberikan konsep ajaran Islam yang mampu menjadi panduan bagi muslim Indonesia. Bagi HMI NDP sangat penting sebagai panduan berpikir dalam memahami nilai-nilai Islam yang bersumber pada Alquran dan Sunnah. Dan bisa dikatakan bahwa NDP itu sendiri adalah kesimpulan tafsir Alquran dalam organisasi HMI. Kesimpulan dalam NDP memposisikan HMI sebagai organisasi perjuangan (Lihat GPPO tentang kemiskinan, kebodohan dll).
I. Dasar-dasar Kepercayaan
Manusia memerlukan satu bentuk kepercayaan.
Kepercayan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Sikap
tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi
selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus
merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayan
harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah
bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi bahkan
berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam
kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan
masyarakat. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang
lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah
satu saja di antaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk
kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur
baur.
Sekalipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa
kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga
dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat anggota
masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap
mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam
kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan
peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi kepercayaan
diperlukan sebagi sumber tata nilai guna menopang peradaban manuisia, tetapi nilai-nilai itu
melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan
peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan
peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu beersedia meninggalkan setiap
bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan
yang sungguh-sungguh merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal
nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala
kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan
kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah
mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada
Tuhan”, meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain
Allah”, memperkecualikan kepercayaan kepada satu
kebenaran. Dengan peniadaan itu, dimaksudkan agar
manusia membebaskan dirinya
dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan
pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran
dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta
segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah
pengetahuan akan adanya Tuhan dapat
ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik
bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi
karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia,
maka manusia tidak dapat menjangkau
sendiri kepada
pengertian akan hakekat Tuhan yang
sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan
kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu
yang lain lebih tinggi namun tidak bertentangan
dengan insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau
pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri Kepada manusia. Tetapi
sebagimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ke tingkat yang tertinggi tidak
dimiliki oleh setiap orang,
demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan
kepada manusia tertentu yang memenuhi
syarat yang dan
dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu
para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para rasul itu untuk
menyampaikannya
kepada seluruh umat
manusia. Para Rasul dan Nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa dan Isa atau Yesus anak Maryam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul
penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu
adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa
mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW
terkumpul seluruhnya dalam kitab suci al-Quran. Selain berarti “bacaan”, kata
al-Quran juga berarti “kumpulan” atau kompilasi dari
segala keterangan. Sekalipun garis-garis
besar, al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung
keterangan-keterangan tentang segala
sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai pada hal-hal ghaib yang
tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (al-Nahl [16]: 89).
Jadi
untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus
berpegang pada al-Quran, dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat
kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut
umat manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Kemudian di dalam al-Qur’an didapatkan keterangan lebih lanjut
tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dan
ajaran-ajaran-Nya yang merupakan garis-garis besar jalan hidup yang mesti
diikuti manusia. Tentang Tuhan antara lain: Surat al-Ikhlash menerangkan secara
singkat: “Katakanlah; Dia adalah Tuhan Yang
Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula Ia berbapa.”
(al-Ikhlash [112]:
1-4). Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha
Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha
Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya dari segala sifat
kesempurnaan yang layaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru
sekalian alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah Yang Pertama dan
Yang Penghabisan, Yang Lahir dan Yang Bathin (al-Hadid [37]: 3), dan “Kemana pun
manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan” (al-Baqarah [2]: 115). Dan “Dia itu
bersama kamu dimana pun kamu berada”
(al-An’am[57]:
4). Jadi Tuhan tidak
terikat dengan ruang dan waktu.
Sebagai
“Yang Pertama dan Yang Penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan
tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya: sebagaimana tata nilai
harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya, Ia pun
sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau “ridla-Nya”. Inilah kesatuan
antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar
diterangkan dalam
bagian lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya,
dan mengaturnya dengan pasti (al-An’am
[6]: 73, al-Furqan
[25]: 2). Oleh karena itu alam mempunyai
eksistensi yang riil dan objektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang
tetap. Dan sebagai ciptaan dari sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung
kebaikan pada dirinya
dan teratur secara harmonis (al-Mu’minun
[23]: 14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi
keperluan perkembangan peradabannya (Lukman
[31]: 20). Maka alam dapat dan harus
dijadikan objek
penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnah Allah) yang berlaku di
dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya
sendiri (Yunus [10]:
101).
Jika kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan
idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam itu tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua
palsu atau maya dan sekedar emanasi atau pancaran dunia lain yang kongkrit,
yaitu idea atau dari Nirwana
(Shad [38]: 27). Juga tidak seperti dikatakan
filsafat agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti
manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai
eksistensi riil dan obyektif
sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa
alam ada dengan sendirinya. Peniadaan Pencipta atau pun peniadaan Tuhan adalah satu sudut dari filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk-Nya yang
tertinggi... (al-Tien [95]:
4, al-Isra’ [17]: 70).
Sebagai makhluk tertinggi
manusia dijadikan “Khalifah” atau wakil Tuhan di
bumi
(al-An’am [6]:
165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (Hud [11]: 16). Maka urusan di
dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung
jawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk
rentetan peristiwa yang disebut sejarah. Dunia adalah wadah bagi sejarah,
dimana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti
(sunnah Allah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai
alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk terhadap
sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan
pilihan tidak terlalu tunduk kepada sunnatullah itu, manusia karena kesadaran
dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada
hukum-hukum kehidupannya sendiri (al-Ahzab [33]:
72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena
sikap menentang atau kebodohannya. Hukum dasar alami
dari segala yang ada inilah “Perubahan
dan perkembangan”, sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan
pengembangan oleh-Nya
dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya (al-Ankabut [29]: 20). Segala sesuatu
ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak
mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu
(al-Qashas [28]:
88). Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus
perkembangan itu menuju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus
selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan
menuju kebenaran itu (al-Isra [17]:
72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang
tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenaranya (al-Isra [17]: 36).
Oleh karena
itu hidup yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (Al
Mujadalah [58]: 11). Bidang iman dan
pencabangannya menjadi wewenang wahyu,
sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan
dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam
dan tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai
kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini
sebagaimana adanya tanpa melekatkan kepadanya kualitas-kualitas yang bersifat
ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud
yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan dan Tuhan pun untuk sebagian atau
seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap mempertuhankan dan
mensucikan (sakralisasi)
haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa (Fushilat [41]:37).
Ini
disebut “Tauhid” dan lawannya disebut “Syirik”, artinya mengadakan
tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian. Maka jelasnya bahwa
syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan yang menuju
kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan
duniawi ini ialah hari kiamat. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang
tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat
disebut juga “hari
agama”, atau yaum al-din,
dimana Tuhan menjadi satu-satunya Pemilik dan Raja (Al-Fatihah [1]: 4, al-Haj [22]: 56, al-Mukminun [40]: 16).
Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata
masyarakat. Tetapi yang ada adalah
pertanggunganjawab individual manusia yang bersifat mutlak
dihadapan Illahi atas
segala perbuatannya dahulu di dalam
sejarah (al-Baqarah [2]: 48).
Selanjutnya kiamat merupakan “Hari Agama”, maka tidak ada yang mungkin kita
ketahui selain dari yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan
kelanjutannya/kehidupan akhirat yang non historis manusia hanya diharuskan
percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadia-kejadian (al-A’raf [7]: 187).
II. Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan
Telah disebutkan dimuka, bahwa manusia adalah puncak
ciptaan, merupakan makhluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu
yang membuat manusia menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan
yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan
kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah
membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran
(hanief) (al-Rum [30]:50).
“Dhamier” atau hati nurani
adalah pemancar keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup
manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa (al-Dzariyat [51]: 56).
Fitrah
merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil
membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani,
seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal
perbuatannya (al-Taubah [19]: 105 dan al-Najm[53]: 39). Nilai-nilai tidak
dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan
amaliyah yang kongkrit
(al-Shaf [61]: 2-3). Nilai hidup
manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal
perbuatan yang berperikemanusiaan (fitri
sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan
sebaliknya di dalam
dan melalui amal perbuatan yang tidak
berperikemanusiaan (jahat) ia menderita kepedihan (al-Nahl [16]:79 dan al-Nisa[4]:111).
Hidup yang penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan
sungguh-sungguh dan sempurna, yang di dalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya
dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya.
Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan
dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan ke arah
kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup
berjuang dalam arti yang seluas-luasnya (al-Ankabut [29]: 6).
Dia diliputi semangat mencari kebaikan, keindahan,
dan kebenaran (al-Nisa [4]: 125). Dia menyerap
segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan
dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (al-Zumar [39]: 18). Dia adalah aktif,
kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom,hikmah) (al-Baqarah[2]:269). Dia
berpengalaman luas, berfikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia
mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (al-An’am [6]: 125). Dia adalah
manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (Ali
Imran[3]:134). Keutamaan ini
merupakan kekayaan kemanusiaan yang menjadi milik dari pribadi-pribadi yang
senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang
kegiatan mental dan phisikisnya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan
kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal
perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan
kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki
dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan
kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara
kehidupan individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan
dan sebagai anggota masyarakat.
Hak dan kewajiban serta
kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama umat
manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara
kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik
ataupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja
yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran
(al-Bayyinah [98]:5).
Dia adalah seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal
perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran
langsung dari kecenderungannya yang suci dan murni (al-Baqarah [2]: 207, al-Insan [76]: 8-9).
Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri
bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang
nilainya lebih rendah (pamrih).
Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberikannya
kebahagiaan (Fathir [35]: 10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang
ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan paling berharga (al-Baqarah
[2]: 264). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada
kebahagiaan sejati tanpa keihlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan
kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang
memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
III. Kemerdekaan
Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal
(Takdir)
Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan.
Kemerdekaan dalam arti kerja
sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam
pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan
sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan
manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang dari kemauan baik. Keikhlasan adalah
gambaran terpenting dari kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia
dan abadi (eksternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dalam aspek pertama manusia
melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara
individual, dan komunal sekaligus (al-Anfal
[8]: 25).
Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan,
melainkan hanya menerima akibat baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia
secara individual. Di akhirat tidak terdapat pertanggungjawaban bersama tetapi
hanya ada pertanggungjawaban perseorangan yang
mutlak (al-Baqarah
[2]: 48, Luqman [31] :33). Manusia dilahirkan sebagai
individu, hidup di tengah alam dan mensyarat sesamanya, kemudian
menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang
pertama dan terakhir dari kemanusiaan, serta letak kebenarannya dari nilai
kemanusiaannya sendiri. Karena individu adalah penanggungjawab terakhir dan
mutlak dari awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang
pertama dan asasi.
Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi
dan primer saja dari kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder
ialah bahwa individu hidup dalam
suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam
sebagai makhluk sosial hidup di tengah sesama. Dari segi ini manusia adalah
bagian dari keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan.
Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk
pribadi dalam konteks hidup di tengah dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan
adalah esensi dari kemanusiaan tidak
berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah
suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang
pasti dan tetap yang menguasai alam –hukum
yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri– yang tidak tunduk dan
tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan
adanya “keharusan universal” atau “kepastian hukum” dan “takdir” (al-Hadid [57]: 22).
Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam konteks
hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang
tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk hubungan yang harus dipunyai oleh
seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu
bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan
akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya
sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya
kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas
kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif dari kemerdekaan adalah
pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif manusia. Yaitu
tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan “ikhtiar” artinya pilihan
merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu,
juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang
ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang
integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain
kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa
adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, menusia menjadi tidak merdeka
dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggungjawaban pribadi
dari amal perbuatannya.Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan dirinya
sendiri (al-Rad [13]
: 11). Jadi sekalipun
terdapat keharusan universal atau takdir namun manusia dengan haknya untuk
berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya
sendiri.
Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu
kejadian sebelum itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa
keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak
pula terlalu membanggakan diri karena suatu kemujuran. Sebab segala sesuatu
tidak hanya terkandung pada dirinya
sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang
universal itu (al-Hadid [57]: 23).
IV. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara
individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab
penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhlasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas
pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka
dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena
itu sekalipun tidak tunduk pada suatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun
manusia merdeka masih dan mesti tunduk pada kebenaran. Karena menjadikan
sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi
kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup.
Dan apabila demikian maka sesuai dengan
pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah
kebenaran yang terakhir
dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukan diri. Adakah kebenaran terakhir
dan mutlak itu?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak dari hidup itu ada.
Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran
itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan bahasa dan kulturiil, kita sebut kebenaran
mutlak itu “Tuhan”. Kemudian sesuai
dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah
(Lukman [31]: 30). Karena
kemutlakan-Nya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (Ali Imran [3]:60). Maka Dia adalah
Yang Maha Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakekatnya pikiran
tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu seorang manusia merdeka ialah yang
berketuhanan Yang Maha Esa, Keikhlasan tiada lain ialah kegiatan yang dilakukan
semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa., yaitu kebenaran mutlak, guna
memperoleh persetujuan atau “ridha” dari-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi
karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan
semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan
hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung di dalamnya guna mendapatkan
persetujuan atau ridha kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan “karena Allah” itulah
yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (al-Lail [92]: 19-21).
Kata “iman” berarti percaya dalam
hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat pengabdian
diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut
Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Ali Imran [3]:
19). Pelakunya disebut “Muslim”. Tidak lagi diperbudak
oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia
muslim adalah manusia yang merdeka yang
menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Ahdzab [33]: 49). Semangat tauhid
(memutuskan pengabdia hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan kesatuan
tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid
tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah
manusia yang sejati dan sempurna
yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia
adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah dari keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan
peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian
sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan
peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan dasar
kesatuan kemanusiaan (human totality), itu antara lain ialah pemisahan antara
eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi, antara
tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa
manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi:
manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan.
Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality)
yang homogen harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh
karena hakekat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak
dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan
nyata (al-Syu’ara [26]: 226).
Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak
dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan
alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu
yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh”
(harfiah; pekerjaan yang selaras
dalam hal ini selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung dari iman
(lihat al-Qur’an: ..aamanu wa a’aamilus shaalihaat, tidak
kurang dari 50 pengulangan kombinasi kata). Jadi ketuhanan Yang Maha Esa
memancar dalam prikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada
kebenaran maka tidak ada prikemanusiaan tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa.
Prikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (an-Nur [24]: 39). Oleh karena itu
semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dan semangat mencari ridha dari-Nya adalah
dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya
membawa keruntuhan peradaban (al-Baraah [9]: 109).
“Syirik” merupakan kebalikan
dari tauhid, secara harfiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada
Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain
kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi,
syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (Lukman [31]: 13). Pada hakikatnya segala bentuk
kejahatan dilakukan orang karena syirik
(al-An’am [6]: 82). Sebab dalam melakukan kejahatan
itu dia menghambakan diri kepada motif
yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan
pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. (Hadis:
“sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah
syirik kecil,yaitu riya, pamrih” (Rawahu Amad, hadis hasan)Dia
bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan
kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang
lain.
“Musyrik” adalah
pelaku dari syirik. Seseorang
yang menghambakan diri kepada selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut
musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan
Tuhan (Ali Imran[3]:64).
Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau
diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan
Tuhan (al-Qashash [28]: 4).
Kedua pelaku itu merupakan pemnentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain.
Maka sikap berkemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu
sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil
(wajar) ialah yang memandang manusia tidak melebihkan sehingga menghambakan
dirinya kepada-Nya. Dia
selalu menyimpan
i’tikad baik dan lebih baik (ihsan).
Maka
Ketuhanan menimbulkan
sikap yang adil dan baik kepada manusia (al-Nahl [16]:90).
V. Individu dan Masyarakat
Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah
masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang
pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari kemerdekaan itu. Juga telah
dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan
dunia sekitarnya, sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan
baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka dalam masyarakat itulah kemerdekan asasi
diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul
perbedaan-perbedan antara suatu pribadi dengan lainnya (al-Zuhruf [43]: 32). Sebenarnya
perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang
penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan kultural
menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (Al-Maidah [5]: 48).
Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan
masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya
(al-Lail [92]: 4). Namun sejalan
dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur
tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan
ke lingkungan lainnya (al-Isra [17]: 84, al-Zummar [39]: 39). Peningkatan
kemanusian tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keluasan
untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan
kecenderungannya dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah
makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik
kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan
yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa
nafsu cenderung ke arah
merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti
hawa nafsu (Yusuf [12]:
53 dan Rum [30] : 29).
Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga
berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak
terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan antara
hak sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi
persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya
dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang kemerdekaan tak terbatas
tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi
oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti
pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas pihak yang lemah (perbudakan
dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan.
Kemerdekaan dan
keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia
terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya,
sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota-anggota masyarakat harus
saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia (al-Maidah [5]: 5).
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang
tidak mungkin dirubah.
Hubungan yang benar antara manusia dengan
sejarah bukanlah penyerahan pasif, tetapi
sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat
buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu
amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (al-Zalzalah [99]: 7-8).
Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai
dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam
sejarah) dan dalam hidup kemudian (sesudah sejarah) (al-Taubah [9]: 74 dan al-Nahl [16] : 30). Semakin
seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan
kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia
mendekati tujuan (al-Ankabut [29]:
69). Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat
sepenuhnya dinyatakan. Jika
ia mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk mengatur hidupnya sendiri tetapi juga
untuk memperbaiki hubungan dengan sesama
manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong royong ini ialah
kesetiakawanan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya
persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (al-Hujurat [49]:13 dan 10).
VI. Keadilan Sosial
dan Keadilan Ekonomi
Telah kita bicarakan tentang hubungan antara
individu dan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatasan kemerdekaan saling
bergantung, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan
manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekan dicirikan dalam bentuk yang
tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas), maka sudah terang bahwa setiap
orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya.
Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi (al-Lail [96]: 8-10). Sudah barang tentu hal
itu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus
ditegakkan keadilan dalam masyarakat (al-Maidah [5]:8).
Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat,
sudah barang pasti adalah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya
diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas
yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu
dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta
mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (Ali Imran [3]:
104).
Kualitas terpenting yang harus dipunyai ialah rasa
kemanusiaan yang tinggi, sebagai pancaran dari kecintaannya yang terbatas
kepada Tuhan. Disamping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok
orang-orang itu adalah pimpinan
masyarakat; atau setida-tidaknya mereka
adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat.
Memimpin adalah
menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama
menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai
manifestasi kesadarannya
akan tanggung jawab sosial.
Negara
adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan
masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama
berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental dari
didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi manusia yang menjadi
warga negara dari
kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia,
sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian pertanggungjawaban dalam
masalah-masalah negara atas persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada
dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah
memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadis: “kullukum
raa’in wa kullukum mas’uulun ‘an raiyyatih”, Bukhari-Muslim). Oleh karena itu
pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kekuatan
masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana
rasa keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (al-Syura [42]: 38, 42). Kekuatan yang
sebenarnya di dalam
negara ada di tangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada
rakyat.
Menegakkan
keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan
dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu).
Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk
menjunjung tinggi prinsip kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia.
Menegakkan keadilan
adalah
amanat rakyat kepada pemerintah yang mesti dilaksanakan (al-Nisa [4]: 59).
Ketaatan rakyat pada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang
wajib dilaksanakan. Didasarkan oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kepeda
pemirantah termasuk
dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran
Mutlak)
(al-Nisa [4]: 58). Pemerintah yang
benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan
akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Maidah [5]: 45).
Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan
berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan
di antara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian
yang wajar dari kekayaan atau rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal
batas-batas individual, sejarah merupakan perkembangan dialektis yang berjalan
tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh
ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan
pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di
lain pihak (al-Hadid [57]:
20). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah
antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila –yaitu bila sudah mencapai batas
maksimal– pertentangan golongan
itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan
peradabannya
(al-Isra [4]:
16).
Dalam masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan
kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun
realitas selalu menunjukan adanya perbedaan-perbedaan antara manusia dalam
kemampuan fisik maupun mental namun kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah
yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari
kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku dari kezaliman sedangkan orang-orang
miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada
di pihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan
antara kaum yang menjalankan kezaliman dengan yang dizalimi. Dikarenakan
kebenaran pasti menang terhadap kebatilan, maka pertentang itu disudahi dengan kemenangan
tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam
masyarakat (al-Nisa [4]: 160-161,
al-Syu’ara [26]: 182-183, al-baqarah [2]: 279, al-Qashash [28]: 5).
Kejahatan di
bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan
kepitalisme dengan mudah seseoranmg
dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena
kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya
untuk memaksakan persyaratan kerjanya
dan hidup kepada mereka. Oleh karena menegakkan keadilan mencakup pemberantasan
kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil
masyarakat (al-Baqarah [2]: 278-279).
Sesudah syirik kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan
beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti
jalan Tuhan (al-Humazah [104] : 1-3). Maka menegakan
keadilan inilah membimbing manusia ke arah
pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan
kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas
dan terhormat (amar
ma’ruf) dan pertentangan terus
menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia, kepada kebenaran
asasi dan rasa kemanusiaan (nahi
mungkar). Dengan perkataan lain harus
diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan
menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan
diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan
kemanusiaan dilarang (yang mungkar diharamkan) (Ali Imran [3]: 110).
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada
dalam suatu masyarakat yang tidak
menjalankan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan
berketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan
tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup
sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (al-Shaf [61]: 2-3).
Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan
sebagai satu-satunya tempat untuk tunduk dan menyerahkn diri, manusia dapat
diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja
menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu.
Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan
tetapi
dari kapital itu selanjutnya lebihmemperbudak buruh.
Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai
kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya Kapital
atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti
keserakahan, ketamakan dan kemiskinan.
Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja
dengan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana diterangkan dimuka, tetapi juga
melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap menyintai
kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan. Sembahyang merupakan
pendidikan yang kontinu, sebagai bentuk formil peringatan kepada Tuhan.
Sembahyang yang benar akan lebih efektif
dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah
kekejian dan kemungkaran (al-Ankabut [29]:45).
Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar (Hadis: “Sembahyang
adalah tiang agama, barang siapa mengerjakannya berarti menegakkan aaSembahyang
adalah tiang agama, barang siapa mengerjakannya berarti menegakkan agama, barang
siapa meninggalkannya berarti merobohkan agama”.Bukhari).
Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan
kebutuhan yang ada secara intrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu
kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (Lukman [31]: 30). Pengabdian yang tidak tersalurkan
secara benar kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentu tersalurkan kearah sesuatu yang
lain, dan membahayakan
kemanusiaan. Dalam
hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan
fundamental terhaap kemanusiaan.
Dalam masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat
pembagian manusia menjadi golongan kaya miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam
batas-batas kewajaran dan kemanusiaan dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan
yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (privat
ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan
dari kemampuan-kemampuan pribadi, fisik maupun mental (al-Rum [30]: 37).
Walaupun demikian usaha-usaha kearah perbaikan dalam
pembagian rejeki
ke arah
yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah
penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dikenakan hanya
atas harta yang diperoleh secara benar, sah dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak
dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan
penyitaan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus
dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana
tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan
atas manusia oleh manusia dihapuskan
(al-Baqarah [2]: 188).
Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan
itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu.
Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika digunakan hak itu tidak bertentangan pemilikan pribadi
menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konsfikasi penggunaan dalam masyarakat (al-Furqan [25]: 67). Seseorang
dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam
batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan yang berlebihan (tabzier atau
israf) bertentangan dengan
prikemanusiaan (al-Isra [17]:
26-27). Kewenangan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan
golongan dan masyarakat membuat akibat destruktif (al-Isra’ [17]: 16) Sebaliknya
penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakan diri sendiri
dalam masyarakat disebabkan membekunya
sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama
(Muhammad [47]:
38).
Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada
hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (Yunus [10]: 55). Manusia
seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberi hak yang sama atas kekayaanitu dan harus diberikan
bagian yang wajar daripadanya (al-‘Araf [7]: 10).
Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif
sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan
dengan yang dikehendaki Tuhan, untuk kepentingan umum (al-Hadid [57]: 7, al-Nur [24]: 33).
Maka kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta
orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (al-Ma’arij [70]: 24-25).
Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan
memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup
yang wajar sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya
dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya
untuk dapat menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa
pemerintah harus
membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan kecakapan
yang wajar, kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang
pantas.
VII. Kemanusiaan dan
Ilmu Pengetahuan
Dari seluruh uraian yang telah dikemukakan, dapatlah
dikumpulkan dengan pasti bahwa inti dari
kemanusiaan yang suci ialah iman dan kerja kemanusiaan
atau amal saleh (al-Tien [95]:6).
Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya
kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikan satu-satunya
tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu
menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang
menyatakan dirinya dalam sikap prikemanusiaan. Sikap prikemanusiaan
menghasilkan amal saleh, artinya amal yang berkesesuaian dengan dan
meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk
sesamanya. Tetapi bagaimana hal itu harus dilakukan oleh manusia ?
Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan
ialah gerak ke depan
demikian pula perjalanan
umat manusia atau sejarah adalah gerak
maju ke depan.
Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu
waktu tertentu. Demikianlah segala sesuatu
berubah, kecuali tujuan akhir dari
segala yang ada, yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (al-Qashash [28] :8 8). Jadi semua nilai
yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hkum-hukum
Tuhan (al-An’am [6]:
57). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan medereka ialah yang bergerak. Gerak itu
tidak lain dari gerak maju ke depan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak
statis. Dia bukanlah seorang tradisionalis, apalagi reaksioner (al-Isra’ [17]:36). Dia menghendaki
perobahan terus-menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia
senantiasa mencari kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu
menyatakan dirinya dan ditemukan di dalam alam dari sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari
dan menemukan kebenaran-kebenran dalam hidupnya, sekalipun relatif, namun
kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sajarah yang mesti dilalui oleh umat
manusia dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah
kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu
ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri
(Fushilat [41]: 53).
Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal
soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan apat berjalan di atas
kebenaran-kebenaran, yang menyampaikannya kepada kepatuhan yang tanpa reserve
kepada Tuhan Yang Maha Eesa (Fathir [35]: 28). Dengan iman dan
kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi
(Mudjadalah [58]:
11).
Ilmu
pengetahuan ialah pengetian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang
dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya
ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna
dapat mengarahkannya kepada
yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin
dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya yang agar dapat menguasai
dan menggunakannya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi umat manusia bagi
kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali
mengerahkan kamampuan intelektualitas atau ratio (al-Jasiyah [45]: 13).
Demikian pula manusia
harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (Ali Imran [3]: 137). Hukum sejarah
yang tetap (sunnatullah untuk sejarah) yaitu garis
besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kamanusiaan fitrinya dan
menemui kehancuran jika menyimpang darinya dengan menuruti hawa nafsu (al-Syam [91]: 9-10).
Tetapi cara-cara
perbaikan hidup hingga terus-menerus maju ke arah yang lebih baik sesuai dengan
fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa
lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan
datang (Yusuf [12]:
111). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan
membimbingnya ke arah kamajuan dan kebaikan.
VIII. Kesimpulan dan
Penutup
Dari seluruh uraian
yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sebagai berikut:
a.
Hidup yang benar
dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa dan keinginan mendekat serta kecintaan
kepada-Nya yaitu taqwa. Iman dan taqwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak.
Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan
dan amal soleh. Iman tidak memberi arti
apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan
usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan
perikehidupan yang benar dalam berperadaban dan berbudaya.
b.
Iman dan taqwa
dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan.
Ibadah mendidik individu agar
tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang teguh kepada kebenaran
sebagaimana yang dikehendaki oleh hati nurani yang hanief. Segala sesuatu yang
menyangkut bentuk dan cara ibadah
menjadi wewenang penuh dari agama
tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadah yang terus menerus
kepada Tuhan menyadarkan
manusia akan kedudukannya ditengah alam
dan masyarakar sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan
kamanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai makhluk
tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain. Dengan ibadah manusia dididik untuk
memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas,
yaitu pemurnian pengabdian
kepada Kebenaran semata.
c.
Kerja kemanusiaan atau
amal saleh mengambil bentuknya
yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara essesial menyangkut
kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan
dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya
sebagai manusia. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan
guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih
insani usah itu ialah “amar
ma’ruf”, di samping usaha lain
untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan atau “nahi munkar”. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan
yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin
pada umumnya serta usaha-usaha kearah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka
yang wajar dan layak sebagai manusia.
d.
Kesadaran dan rasa
tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan “jihad”, yaitu
sikap hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh
manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan, dan kecintaan kepada
Tuhan. Perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran
dan pengorbanan. Dan
dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh
sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang
merupakan bangunan yang kokoh dan kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh
persaudaraan dan solidaritas yang tinggi, dan oleh sikap tegas kepada
musuh-musuh dari
kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran.
Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
e.
Kerja kemanusiaan atau
amal saleh itu merupakan proses
perkembangan yang permanen. Perjuangan kemanusiaan berusaha mengarah kepada
yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia harus mengetahui arah yang
benar dari perkembangan peradaban di segala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami
dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan
tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa
kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu
pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami
ilmu pengetahuan harus didasari dengan sikap terbuka. Mampu mengungkapkan
perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian
mengambil dan mengamalkan di antaranya yang baik.
f.
Dengan
demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu : “beriman,
berilmu, dan beramal”.
Rujukan NDP
Dar-dasar
kepercayaan
AnNahl
ayat 80, Al-Ikhlas, Alhadid ayat 3-4, Albaqarah ayat 113, Al-An’am ayat 73,
Al-Furqan ayat 2, Al-Mu’minun ayat 14, Luqman 20, Yunus ayat 101, Shad ayat 27,
At-Tin ayat 4, Al-Isra ayat 70, Al-An’am ayat 165, Hud ayat 61, Al-Ahzab ayat
72, Al-‘Ankabut ayat 20, Al-Qashash ayat 88, Al-Isra’ ayat 36, Al-Mujadalah
ayat 11, As-Sajadah ayat 37, Al-Fatihah ayat 4, Al-Hajj ayat 56, Al-Muknin ayat
16, Al-Baqarah ayat48, Al-‘Araf 187.
Pengertiandasr
tentang kemanusiaan
Ar-Ruum
ayat 30, Adz-Dzariyah ayat 56, Ali Imran ayat
134 dan ayat 156, At-Taubah ayat105, An-najm ayat 39, As-Shof ayat2-3,
An-Nahl ayat 97, An-Nisa ayat 111 dan ayat 125, Al-Ankabut ayat 6, Az-Zumar ayat
18, Al-baqarah ayat 207, 264, dan ayat
269, Al-An’am ayat 125, Al-Bayyinah ayat 5, Al-Insan ayat 8-9, Fathir ayat 10.
Kemerdekaan
Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Al-Anfaal
ayat 25, Al-Baqarah ayat 48, Luqman ayat 33, Al-Hadid ayat 22-23, Ar-Raad ayat
11.
Ketuhanan
YME dan Prikemanusiaan
Luqman
ayat 13 dan ayat 30, Ali Imran ayat
19-21 dan ayat 64, Al-Ahzab ayat 39, Asy-Syu’araa ayat 226, An-Nuur ayat 39, At-Taubah
ayat 109, Al-Qashash ayat 4, An-Nahl ayat 90.
Individu
dan Masyarakat
Az-Zukhruf
ayat 32, Al-Maidah ayat 2 dan ayat 48,
Al-Lail ayat 4, Al-Isra’ ayat 84, Az-Zumar 39, Yusuf ayat 53, Ar-Ruum 29,
Al-Zalzalah ayat 7-8, At-Taubah ayat 74, An-Nahl ayat 30, Asy-Syu’araa ayat 69,
Al-Hujarat ayat 13 dan ayat 10.
Keadilan
Sosial dan Ekonomi
Al-lail
ayat 8-10, Al-Maidah ayat 8 dan ayat 45, Ali-Imroon ayat 104 dan ayat110,
Asy-Syuraa ayat 38 dan ayat 42, An-Nisa ayat 58-59, Al-Hadiid ayat 7 dan ayat 20, Al-Isra’ ayat 16, An-Nisa’ ayat 160-161,
Asy-Syu’araa ayat 182-183, Al-Baqarah ayat 279, Al-Humazah ayat 1-3, Ash-Shaf
ayat 2-3, Al-Ankabut ayat 45, Luqman ayat 30, Ar-Ruum ayat 37, At-Taubah ayat
60, Al-Baqarah ayat 188, Al-Furqaan ayat 67, Al-Isra’ ayat 16, Muhammad ayat
38, Yunus ayat 55, Al-A’raaf ayat 10, An-Nuur ayat 33, Al-Ma’aarij ayat 24-25.
Kemanusiaan
dan Ilmu Pengetahuan
At-Tiin
ayat 6, Al-Qashash ayat 88, Al-An’am ayat 57, Al-Isra’ ayat 36, As-Sajadah ayat
53, Fathir 28, Ali-Imran ayat 18 dan ayat 137, Al-Mujadalah ayat 11,
Al-Jatsiyah ayat 13, Asy-Syams 9-10, Yusuf ayat 111.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !